Oleh : Dra. Agnes Andani, M.Hum (dua dari kiri)
JANUARI, sebagai
bulan pertama tahun Masehi, oleh orang Jawa dibuatkan kerata basa,
’hujan sehari-hari’, Hal itu
terbukti dengan banjir yang menggenangi Jakarta pada 1 Januari 2020 dan
beberapa daerah lainnya. Pemberitaan banjir di daerah lain tidak seheboh
Jakarta. Beberapa hari lalu ”air berlebih” juga menggenangi Surabaya selama 2-3
jam saja. Cara penanganan musibah atau bencana ternyata berbeda-beda: dengan
merangkai kata atau unjuk kerja. Bukanhal itu yang akan dibahas dalam tulisan ini,
melainkan memaknai kehadiran hujan sebagai
berkah atau musibah dan siapa yang
salah.
Pada saat kecil, permainan kerata
basa berkaitan dengan bulan cenderung benar, seperi Januari, hujan saben ari: ’hujan
setiap hari’, Februari: yen mepe mburu ari ’bila menjemur pakaian mengejar
hari/siang/panas matahari’, Maret: mak ret, ’panas matahari seketika redup’, April:
udan prepil-prepil ’hujan jarang turun’, Oktober: untub-untube sumber ’sumber
air mulai muncul’, November: ana sumber ’ada sumber air’, dan Desember: gedhe-gedhene
sumber ’sumber air paling besar’. April sampai dengan September sebagai rentang
musim kemarau, ketiga dan Oktober sampai dengan Maret musim penghujan, rendheng.
Namun akhir-akhir ini terjadi salah mangsa, terjadi perubahan iklim yang radikal.
Hal ini perlu menjadi bahan permenungan kita bersama.
Sebagai makhluk Tuhan, manusia harus
mencintai Tuhan, sesama manusia, sesame ciptaan, dan alam semesta. Keserakahan
dan keabaian manusia menyebabkan berbagai bencana. Air memiliki fungsi luhur
sebagai unsur alam yang menghidupkan, menyucikan, memurnikan, dan membersihkan.
Tetapi ketika banjir tiba, apalagi banjir bandang yang menghanyutkan apa saja,
membuat air kehilangan fungsi hakikinya. Air dianggap sabahat di kala kecil dan
menjadi penjahat bila membesar. Mungkin benar kata Anies Baswedan, air perlu
diajak dialog dibiarkan melaksanakan sunatullah untuk kembali di tanah atau antre
menuju muara, sehingga banjir adakah berkah, bahkan mungkin dapat digunakan
sebagai sarana pencitraan.
Percakapan tukang ronde dan tukang es
perlu menjadi bahan refleksi juga. Musim penghujan menjadi berkah bagi penjual
ronde, karena orang menginginkan kehangatan namun menjadi musibah bagi tukang
es karena dagangannya tidak laku. Hal ini berbeda dengan musim kemarau, musibah
dan berkah berbalik arah, penjual es mendapatkan berkah dan tukan ronde menerima
musibah. Terus kita harus bagaimana?
Air cenderung bersifat lembut,
mengalir, pasrah pada alur dan alir menuju daerah hilir.
Karena ulah manusia yang merusak
sifat air yang mengalir dari atas ke bawah, dari hulu ke hilir, dengan kelokan
yang diikutinya didesak oleh perilaku manusia yang tidak santun dan kurang
cinta alam semesta. Daerah lembah
sebagai daerah tangkapan air, hutan dengan akar-akar pohon yang menampung air dipangkas
dan dirampas, sehingga air pun bingung mencari alur dan alirnya. Air tercurah dari
langit langsung menyentuh bumi tanpa penghalang dan penangkal akhirnya ”murka”.
Menyadari dan memaknai air sebagai
pemberi kehidupan yang menyucikan, memurnikan, dan membersihkan, begitu lembut
sudah selayaknya diperlakukan secara feminine dan lembut. Langkah sederhana yang
bisa kita lakukan adalah menyambut dan menampung air dengan tanaman hijau di
sekitar rumah, membuang sampah pada tempatnya, memilah-milah sampah,mengolah
sampah menjadi kompos, dan membersihkan sampah di halaman, selokan, gorong-gorong,
sungai, khususnya sampah plastik, yang menghambat air menemukan fitrahnya.
Mari kita bersatu padu untuk semakin
arif terhadap lingkungan dan alam sekitar. Kita perlu bersahabat bukan hanya kepada
sesama, melainkan kepada semua ciptaan Allah, sehingga mampu memaknai hujan
sebagai berkah.
*) Dra.
Agnes Andani, M.Hum, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas
Widya Mandala, Madiun.