Oleh : Dra. Agnes Adhani, M.Hum (Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun) |
PANCASILA sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia telah ditetapkan sejak 18 Agustus 1945. Pada masa orde baru, untuk membumikan Pancasila bagi seluruh warga negara berdasarkan TAP MPR No. II/1978 dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) berdasarkan Keppres No. 10/1979.
KEGIATAN zaman orde baru ini yang paling dikenal adalah penataran P-4 bagi siswa masuk SMP, SMA, Perguruan Tinggi, Pegawai Negeri, dan aneka profesi dengan berbagai tipe penataran yang dikelola BP7 tingkat Pusat, Provinsi, atau Kota/Kabupaten. Karena diduga sebagai wahana pelanggengan kekuasaan orde baru, P-4 dan BP-7 dibubarkan berdasarkan TAP MPR No. XVIII/1998 pada era reformasi.
PADA zaman SBY kegiatan yang berkaitan dengan pemasyarakatan Pancasila dikenal dengan sosialisasi “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, yang secara masif dilakukan oleh anggota DPR dan MPR ke seluruh pelosok tanah air dengan berbagai media.
PADA zaman Jokowi, ada kebijakan terkait dengan pelestarian Pancasila dengan Kepres No. 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni dan ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional dan pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berdasarkan Perpres No. 10/2018.
PERJALANAN pemasyarakatan dan pelestarian Pancasila tertohok oleh peristiwa Grand Final Pemilihan Puteri Indonesia di Jakarta Convention Centre Jumat, 6 Maret 2020, karena salah satu finalis enam besar Puteri Indonesia, Calista Iskandar, perwakilan dari Sumatera Barat, tidak bisa melafalkan sila-sila Pancasila secara lancar dalam 30 detik. Bambang Soesetyo, Ketua MPR yang masih memerankan tokoh untuk memasyarakatkan empat pilar menanyakan hal itu. Tidak menampik kenyataan bahwa sampai pemilu 2019 masih banyak anggota DPR-MPR RI yang mencalonkan lagi masih menyebarkan empat pilar berbangsa dan bernegara dalam kampanyenya. Sebuah fakta bahwa Calista Iskandar, wakil Sumbar, finalis enam besar Puteri Indonesia, tidak bisa mengucapkan sila keempat dan kelima Pancasila secara benar. Namun layakkah dibully dan ditolak keberadaannya. Apakah ini sebuah pemenuhan atas peribahasa: nila setitik rusak susu sebelanga? Benarkan tidak bisa mengucapkan sila keempat dan kelima Pancasila sebagai nilai yang menghapuskan semua prestasi Calista Iskandar? Namun bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini. Kesadaran warga negara terhadap ideologi Pancasila memang semakin menipis. Penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni diterima dengan gembira sebagai tambahan hari libur, bukan saatnya untuk merefleksikan nilai - nilai luhur Pancasila yang menyatukan dan mempersatukan kita di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SEBAGAI warga negara yang ada di lapisan paling bawah, penulis mengusulkan agar setiap warga negara, khususnya ibu-ibu anggota PKK di tingkat RT, RW, Kelurahan/Desa dalam pertemuan rutin bulanan menambahkan acara awal dengan membacakan Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum menyanyikan Mars PKK. Langkah kecil dan nyata ini diharapkan dapat mengikis kemungkinan tidak bisa melafalkan Pancasila. Selain itu pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten dengan kegiatan yang terstruktur, terprogram, dan terencana dapat digunakan untuk membumikan Pancasila. Hapal menghapal masih dibutuhkan agar Pancasila selalu bergaung dalam sanubari setiap warga negara dan diwujudnya katakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa membumikan Pancasila perlu diawali dengan langkah membunyikan/melafalkannya.
SEMOGA tidak terjadi lagi kasus kesalahan dan pembullyan secara masif yang mampu mengebumikan seseorang, seperti Kalista Iskandar. (*)