Oleh : Dra. Agnes Adhani, M.Hum (Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Kampus Kota Madiun) |
BEGITU pandemi meletus, serta merta dengan tergagap-gagap orang yang gaptek harus melek IT. Ada yang menerima semua sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar. Namun ada sebagian yang mogok. Apalagi mereka yang sudah uzur termakan umur. Wis tinggal nunggu beberapa amplop wae kok rekasa men.
KEMANDIRIAN, kejujuran, dan tanggung jawab merupakan karakter yang diuji sungguh-sungguh dengan adanya pembelajaran daring. Memasuki Learning Manajement System (LMS) sebagai perangkat lunak yang dirancang untuk membuat, mendistribusikan, dan mengatur penyampaian materi pembelajaran, terasa seperti memasuki belantara dengan rambu-rambu yang sudah jelas namun tidak dipahami.
YANG sangat menarik demi masuk ke LMS, adalah mengejar centang hijau atau bulatan biru. Guru, siswa, mahasiswa, peserta diklat, dan pihak yang terlibat dalam mengakses LMS adalah mengejar centang hijau atau bulatan biru. Asal sudah mendapatkan tanda centang hijau atau bulatan biru, tanda sudah mengisi presensi dan setelah itu tidak ada yang tahu. Dalam diklat moda daring aktivitas peserta diklat harus dikejar-kejar oleh para admin LMS dengan WA, telepon, menghubungi keluarga, pinpinan dilakukan. Itu pun belum tentu berhasil.
DALAM kegiatan tatap maya, yang sering terjadi suara senyap dan wajah lenyap. Bila diingatkan untuk menampilkan wajah menjawab dengan, “Maaf kami terkendala sinyal.” Selama pembelajaran daring kambing hitam yang tidak bisa membela diri adalah jaringan atau sinyal internet.
JARING-JARING permasalahan berkelindan antara keterbatasan kuota, kendala jaringan/sinyal, fasilitas yang terbatas, kondisi pembelajaran tidak optimal, ketakutan dan paranoid terhadap sakit dan penyakit, kegentingan kondisi sosial-ekonomi, belum lagi tingkat stres yang tinggi akibat tinggal di rumah, apalagi bila kondisi tidak memungkinkan bekerja dari rumah. Yang lebih gawat lagi adalah pendidikan karakter jujur, mandiri, dan bertanggung jawab sungguh sulit ditegakkan. Suuzon peserta tidak terlibat secara aktif, mengerjakan tugas minimal atau copy-paste, membisu dan membatu bila ada kendala sungguh perjuangan berat para pendidik dan pengajar. Timbul-tenggelam dalam aktivitas pembelajaran sungguh menyedihkan. Permakluman atas kondisi tentu tidak bisa dijadikan tolok ukur. Keberhasilan pembelajaran tidak ditentukan oleh permakluman dan menyerah kepada keadaan.
SUNGGUH kita semua perlu merefleksikan hal ini. Para orang tua dan guru harus bekerja sama menempa generasi muda ini menjadi tangguh dan tahan uji dalam menghadapi kondisi zaman yang tak bisa diprediksi. Melindungi anak berlebih membuat mereka menjadi ringkih, lemah, dan mudah menyerah. Saatnya kita menentukan sikap. Mendidik kaum muda untuk semakin jujur, mandiri, dan bertanggung jawab. Para orang tua harus bertindak tegas dan mungkin agak keras agar generasi milenial atau generasi Z ini tidak memble. Orang-orang yang berjuang keras yang bisa menjadi pribadi unggul. Kalau ada ungkapan orang tua, ”saya dulu rekasa saya tidak ingin anak saya rekasa” adalah salah. Aku rekasa, anakku juga harus merasakan rekasa agar bisa bersyukur bila bisa merasakan kenikmatan sebagai buah perjuangan. Ayo berjuang menjadi pribadi yang jujur, mandiri, dan bertanggung jawab dengan mengurai karut-marut jaring-jaring pembelajaran daring. Salam sehat dan semangat menyambut Hari Sumpah Pemuda.(*)