Pagar Makan Tanaman : Refleksi Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
Oleh : Dra. Agnes Adhani, M.Hum Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia UKWMS Kampus Kota Madiun |
PAGAR makan tanaman adalah peribahasa yang berarti ’seorang pelindung yang memanfaatkan orang yang dilindungi untuk memuaskan hasrat pribadinya’. Peribahasa ini tepat disematkan kepada guru, dosen, pimpinan lembaga pendidikan yang tega ”makan” anak yang dipercayakan kepadanya.
BEBERAPA waktu lalu heboh dengan sengit beberapa pihak mengkritisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang mengeluarkan Permendikbudristek nomer 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Kekerasan seksual di mana pun ada di area abu-abu, terselubung, terselimuti, dan dibalut oleh nilai moral, nilai agama, citra diri, bersifat personal. Demi nama baik banyak kasus kekerasan seksual tidak diungkap, karena korban akan semakin terpuruk, bak sudah jatuh tertimpa tangga. Kasus kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya bagi korban sangat serius dan berjangka panjang. Kalaupun kurban berusaha menuntuk keadilan justru akan mendapatkan cibiran, seperti menapuk air di dulang basah kuyup muka sendiri (tidak hanya terpercik).
BELUM usai pro-kontra permendikbud ristek tersebut menyeruak kasus 12 anak diperkosa dan dihamili pengelola lembaga pendidikan yang membuat hati miris, teriris, dan giris. Kasus tersebut tentu tidak sekonyong-konyong ada. Kasus ini ibarat sepandai-pandai membungkus, yang busuk tercium juga dan karena wis kebak sundukane, ’tusuk sate yang diisi daging berlebih akan tumpah dan tidak muat lagi dalam tusuk tersebut’. Hal ini layak direfleksikan bersama.
BEBERAPA hal yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi, antara lain (1) bila lelaki masih memiliki syahwat yang tidak dikelola dengan landasan iman dan memuliakan perempuan sebagai manusia bermartabat, kekerasan seksual akan tetap ada, dan korbannya rata-rata perempuan dan anak perempuan, (2) kesadaran guru sebagai pamong yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara perlu direaktualisasikan, sehingga guru yang harus digugu lan ditiru ’diturut dan ditiru’ segala sikap dan perilakunya, sungguh terwujud nyata, (3) mempercayakan pendidikan kepada pihak lain perlu dipertimbangkan sungguh-sungguh, apalagi keluarga lepas tangan dari keseluruhan hidup anak, (4) keberanian dalam mengungkap kebejatan penjahat kelamin atau predator seksual harus didukung demi terkikisnya kasus kekerasan seksual, (5) korban yang biasanya terjebak pada atasan, pimpinan, senior yang mencoba membuat korban merasa bersalah, berdosa, mengancam, dan memanipulasi secara emosional perlu ditolong, (6) pengoptimalan peran Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), tidak sebatas hanya papan nama demi lamis menunjukkan kehadiran negara yang tampak peduli, dan (7) Sekolah Ramah Anak harus diinisiasi bukan hanya sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, melainkan juga madrasah yang dikelola Kementerian Agama.
REFLEKSI ini merupakan gagasan yang masih perlu dicermati dan direnungkan. Intinya mari kita jadikan Sri, Siti, Dewi sebagai makhluk perempuan yang dimuliakan, tidak untuk dilecehkan, apalagi dihancurkan masa depannya. (*)