Oleh : Agnes Adhani |
TIGA tahun lalu, sebelum pandemi, saat menuju ke Bali menemukan tonggak 0 km Panarukan, berhenti untuk berfoto, mengenang pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi berpuluh tahun lalu. Bangga bisa mengingat pelajaran SD dan mengabadikan dalam foto: 1000 km Jalan Pos Anyer- Panarukan. Ternyata setiap 0 km bisa menjadi tempat swafoto yang menarik. Termasuk dibangun juga diperempatan jalan Pahlawan Madiun, latahkah? Namun bukan latah soal O km tulisan ini, melainkan terkait dengan angka yang nol, tanpa makna.
TIGA tahun kemudian, tiga hari lalu, angka menjejali pikiran karena rest area. Kita memang perlu mengacungkan dua jempol untuk jalan tol, yang dengan pol memacu percepatan dan melipat waktu tempuh antarkota di Jawa dan dikembangkan juga di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun nilai-nilai kesejarahan, goegrafi, dan lokalitas menjadi nol, tak bermakna. Mengapa hal itu bisa terjadi?
PENAMAAN rest area dari Ngawi sampai dengan Surabaya dilakukan dengan penggunaan angka, dengan misalnya rest area 575A dan 575 B, 626 A dan 626 B, 640 A, 678 A dan 678 B, 695 A, 725 A dan 726 B, dan 753 B dan 754A
Ketika seorang suaminya menelepon istrinya, “Sampai mana?”
Istri menjawab, “rest area 626.”
Suami lanjut bertanya, “daerah mana itu? Berapa lama lagi sampai rumah?”
“Tidak tahu.” jawab istri kebingungan.
“Kota atau Kabupaten mana begitu? suaminya mendesak.
“Tidak ada penanda sama sekali,” jawab istrinya menjadi kesal.
“Payah.” dan suami menutup telepon.
HAL ini tidak terjadi bila kita lewat jalan arteri. Bila menggunakan kendaraan umum, kita bisa melihat rute bus melalui karcis. Perjalanan Madiun-Surabaya, kita bisa melihat kota-kota yang dilewati, antara lain: Madiun-Caruban-Nganjuk-Kertosono-Jombang-Mojoagung-Mojokerto-Sidoarjo-Surabaya.
TERASA semakin menggelitik ketika saya mampir di rest area 456 Terkagum-kagum melihat bangunan yang megah dan mewah, view cantik dan instagramable, namun terperangah setelah ingin tahu ini daerah mana? Salatiga daerah mana? Apakah menyalahi aturan atau melanggar kebijakan bila penamaan rest area selain kilometer keberapa dari Jakarta diikuti nama kota terdekat. Misalnya Rest Area 626 Saradan Kabupaten Madiun. Selain mengenal jarak tempuh dapat sekaligus mengenal geografi dan peta. Apalagi kalau ada daerah wisata alam dan sejarah. Perjalanan yang lelah dan jengah, bisa bersama belajar sejarah secara indah. Kelelahan mata yang kurang variasi yang bisa dilihat dapat direduksi dengan pengetahuan Geogradi dan Sejarah. Bahkan kemungkinan bisa mereduksi angka kecelakaan, karena jenuh akibat monoton.
ANGKA agar bisa bermakna mengena, berguna, dan memantik pikiran mletik harus dipadukan dengan aksara dalam bahasa. Jangan sampai anak tidak mengenal nama daerah Bumiayu malah menyebutnya dengan Abimanyu ’tokoh wayang, cucu Arjuna’. Salut kepada pihak Kereta Api Indonesia (KAI) yang mengumandangkan suara eufonik memberitahukan stasiun yang akan dilewati. Selain untuk mengingatkan penumpang untuk bersiap diri segera turun, berdampak positif pula bagi penumpang lain untuk mengenal nama kota yang dilewati selama perjalanan. Selain kelisanan lewat pengumuman, setiap stasiun pasti ada nama stasiun dan ketinggian tempat itu dari permukaan laut yang jelas dan terbaca.
MARI kita memaknai hidup dengan huruf dan kata sebagai nama: nama geografis yang tak pernah lepas dari nilai historis dan lokalitas. Salam cinta tanah air, tanah air Indonesia. (*)