Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

SUNGKAN TAK MENGUBAH KEADAAN

Foto : Agnes Adhani (Tengah)

Oleh : Dra. Agnes Adhani, M.Hum

SUNGKAN
adalah 1‘enggan; malas (mengerjakan sesuatu); 2malu, merasa tidak enak hati, dan 3menaruh hormat; segan’. Pada tulisan ini makna sungkan adalah ‘enggan, malas, malu, dan merasa tidak enak hati’. Hal ini terjadi saat seseorang diminta menegur perbuatan yang tidak benar, alasan sungkan dipakai untuk berkelit.


SEKOLAH atau kampus adalah kawasan tanpa rokok. Hal ini diamanatkan oleh Undang-Undang nomer 39 tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa setiap tempat belajar mengajar, termasuk sekolah dan universitas/kampus sebagai kawasan tanpa rokok. Civitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, dan tamu universitas tidak boleh merokok di kawasan kampus. Kampus menjadi kawasan yang terbuka untuk siapa saja yang siap untuk tidak merokok di dalam kampus. Belum banyak kampus menerapkan kawasan tanpa rokok dengan tegas. Ada beberapa kampus dengan agak enggan, hanya sebatas memasang spanduk atau banner dan tulisan. Namun agak permisif terhadap perokok.


PRO-KONTRA terjadi adanya tempat khusus untuk perokok, karena merokok dianggap sebagai hak asasi, walaupun merugikan orang lain. Hal ini menyebabkan perilaku permisif terhadap perokok. Yang kadang membuat jengah adalah para perokok ini merokok di luar kampus, tetapi justru semakin nyolok mata. Secara terang-terangan mereka berada di luar kampus, tetapi tepat di depan pintu gerbang. Pagi-pagi pemandangan yang membuat mahasiswa jengah dan merasa sungkan untuk menegur. Dosen juga tidak enak hati bila disuruh menegur, karena merasa teman dan setara. Atasan merasa sungkan juga untuk menegur, karena tidak melihat langsung. Terus siapa yang harus melakukan?


PENULIS jadi ingat peristiwa perang dunia yang ditunggu-tunggu setiap empat tahun, yang tahun ini diselenggarakan di Qatar. Pertandingan awal dihiasi oleh kisah peduli suporter Jepang yang memunguti sampah di stadion Khalifa (Kamis, 1/12/2022). Aksi “heroik” lingkungan sebagai perwujudan syukur kemenangan Jepang atas Spanyol 2-1 ini sangat menarik untuk pembelajaran ekologis dan integritas pribadi dan bangsa. Dalam kekalahan pun Jepang menunjukkan integritas yang tinggi, Pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, membungkukkan badannya di hadapan supporter usai timnya kalah  dari Kroasia dengan adu penalti 1-3. Apakah sikap suporter dan pelatih kesebelasan Jepang ini tidak bisa kita jadikan sebagai bahan pembelajaran tentang sikap sportif dan integritas?


KEPRIBADIAN  seseorang salah satunya ditentukan oleh perilaku. Perilaku positif dan berintegritas, seperti tertib, patuh pada aturan, dan disiplin yang dipunjuli dengan perilaku ngono ya ngono ning aja ngono.  Menaati peraturan dengan kepatuhan hendaklah dengan ketulusan hati. Apakah taat yang lamis cukup? Seorang pemimpin juga diharapkan memiliki ketegasan dalam melakukan tugasnya sebagai atasan untuk menegur bawahan yang kurang tertib. Sungkan harus ditepikan sebentar untuk mengubah keadaan, agar hal yang nyolok mata tadi tidak menjadi pemandangan rutin setiap pagi. Sikap patuh tidak melulu karena aturan tetapi adanya kesadaran diri untuk menunjukkan integritas dan penghargaan terhadap diri sendiri.


SUNGKAN ini juga kelihatannya yang menumbuhsuburkan ketidaktertiban, kecurangan, dan korupsi. Untuk mengubah keadaan sungkan perlu diredefinisikan  demi ketertiban umum dan bonum commune. Apalagi saat ini kampus-kampus sedang berjuang melaksanakan Permendikbud-Ristek nomer 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Apabila kesungkanan yang dikedepankan, tentunya keadilan dan kesetaraan gendertidak terwujud. Mari kita berjuang menjadi pribadi yang berintegritas dan memiliki penghargaan terhadap diri sendiri, berusaha menjadi pribadi yang semakin baik, mampu menjadi contoh perilaku positif. Kesopanan dibutuhkan untuk “menyelamatkan muka” orang lain, namun ketegasan dan kepatuhan dibutuhkan untuk menjaga harmoni hidup.  (*)

IKLAN

Recent-Post