Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

DAPUR : DI PERSIMPANGAN PERAN REPRODUKTIF DAN PRODUKTIF


Oleh : Dra. Agnes Adhani, M. Hum
PERAN perempuan di sekitar dapur dengan memasak, selain sumur dengan mencuci dan kasur dengan beranak, dengan ungkapan peran dapur-sumur-kasur dan masak-macak-manak, dianggap sebagai domestifikasi perempuan dan bentuk diskriminasi. Benarkah?

DAPUR, kegiatan memasak di rumah dianggap sebagai kegiatan yang reproduktif. Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Hal ini berbeda dengan peran produktif Peran produktif menyangkut kegiatan menghasilkan barang dan jasa untuk memperoleh dan diperdagangkan atau memperoleh keuntungan (bertani, nelayan, bekerja di pemerintahan atau swasta) yang dilakukan baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki yang dibayar secara tunai atau secara barter. Dengan demikian terdapat perbedaan nyata antara peran reproduktif dan produktif. Peran reproduktif berkonotasi “kerumahtanggaan sebagai pemelihara, penjaga, penyedia” sehingga tidak mendapatkan keuntungan ekonomi, bahkan dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan uang, tidak mendatangkan uang. Umumnya peran ini dilakukan oleh perempuan. Hal ini berbeda dengan peran produktif yang berkonotasi “menghasilkan, memperoleh keuntungan” secara ekonomi.


MENJAMURNYA usaha kuliner membuat dapur semakin membuat orang tergiur. Dapur yang dulunya berada di belakang, kumuh, kotor, panas, hanya layak untuk perempuan, sehingga mendapatkan atribut kanca wingking,  sekarang menjadi cemerlang, baik sebagai usaha berskala restoran maupun kelas kaki lima wedangan dan jajan pasar. Menggiurkannya usaha berbasis dapur ini karena mendatangkan keuntungan finansial yang kecil atau sedikit, namun lama-lama bisa menjadi bukit, karena ajek. Ngopeni uang receh yang dianggap remeh bukan lagi aib bagi kaum laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya usaha kuliner bertajuk nama laki-laki dan dikomandani kaum Adam.


PENAMAAN usaha kuliner yang bersifat tradisional merujuk kepada perempuan seperti Yu Gembrot, Bu Wir Kabul, Bu Wo, Yu Dami, Bu Mandung (Madiun),  Ayam Goreng Nyonya Suharti, Mbok Berek, Bu Better, Gudeg Yu Djum, Mbah Lindu, Mbah Cemplung, Bu Kasno (Yogyakarta dan Solo) menunjukkan bahwa perempuan menduduki peran penting sebagai meracik makanan yang andal dan menambah modal yang mendukung ekonomi keluarga. Walaupun memberi andil besar dalam bidang ekonomi mereka tetap sebagai kasta yang rendah, yaitu waisya, kelas pedagang, bukan priyayi.


SEKARANG usaha kuliner banyak dilirik dan  ditekuni oleh lelaki, apalagi dengan maraknya kompetisi Master Chef. Pamor dapur semakin moncer, namun peran domestik reproduktif dapur tetap tercecer. Dapur dilirik dan menjadi menarik bila “menghasilkan, memperoleh keuntungan, mendatangkan uang”. Dapur yang ada di persimpangan menjadi gamang. Akannya peran reproduktif dapur dapat  menggempur mitos domestifikasi perempuan? Mari kita bergandengan tangan untuk mengangkat dapur dengan perempuan sebagai ratunya menjadi semakin produktif. 


SEMOGA Yu, Bu, Nyonya, Mbok, Mbah perintis  kuliner yang melegenda mampu memantik para perempuan untuk semakin berjaya di dapur dan peran reproduktif dan produktif tidak dipertentangkan sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Semangat. (*)

IKLAN

Recent-Post