Panselnas UCCN Puji Reog Ponorogo yang Inklusif dan Mampu Jadi Lingua Franca
PONOROGO (KORAN KRIDHARAKYAT.COM) - REOG Ponorogo terbukti sebagai kesenian yang inklusif karena dapat melibatkan semua orang. Taufik Rahzen, anggota Panselnas UNESCO Creative Cities Network (UCCN), sempat terkagum-kagum saat mendapati ada pemain reog perempuan dan grup reog tunanetra. “Menunjukkan bahwa kesenian reog tidak hanya dapat dinikmati secara visual. Sudah lebih dari itu, dapat dinikmati dalam tataran yang lebih tinggi, yaitu rasa,” kata Taufik.
Tim dari Panselnas UCCN selama dua hari, pada Kamis (26/9/2024) dan Jumat (27/9/2024), melakukan visitasi setelah Ponorogo lolos empat besar seleksi nasional untuk menjadi bagian Jejaring Kota Kreatif UNESCO.
Tim visitasi menyaksikan langsung pertunjukan Reog Ponorogo yang pemainnya adalah perempuan. Mulai penari jathil, bujangganong hingga pembarong semua perempuan. Reog juga dimainkan secara apik oleh anak-anak penyandang tunanetra dari peserta didik SLB-A Aisyiyah Ponorogo. “Suatu saat nanti, kesenian reog difabel dapat menjadi ikon, bukan apa yang dilihat tapi yang dirasakan. Bukan lagi bicara pada keterampilan memainkan reog, tapi sudah pada keindahannya” terang Taufik tampak terharu.
Bahkan, dia meyakini bahwa kesenian reog mampu menjadi lingua franca atau sarana komunikasi antara kelompok. Sebab, lengkingan serompet, pukulan kendang, dan suara angklung seolah mengatakan sesuatu. “Meskipun reog selama ini sangat visual, namun sudah dapat dinikmati melalui telinga,” jelas Taufik.
Menurut dia, tetabuhan reog dengan nada yang sederhana dapat menggetarkan dan menjadi bahasa yang mudah dipahami bersama. “Ketukan yang muncul dari bunyi gamelan reog seperti mengatakan sesuatu yang orang langsung dapat memahami,” tegasnya. Demikian sebagaimana diinformasikan oleh RRI Madiun. (KR-LID/AS).