PERANG DIGITAL (DIGITAL WARS) : INVASI BUDAYA POPULER DI ERA TEKNOLOGI DIGITAL
Oleh: Dr. Nunik Hariyani, A.P., S.Sos., M.A |
DI ERA digital, budaya populer tidak hanya menyebar lebih cepat tetapi juga lebih luas, budaya populer telah mengalami transformasi besar-besaran, melintasi batas geografis dan budaya dengan bantuan teknologi. Fenomena seperti video viral, tren global, dan komunitas daring menunjukkan bagaimana teknologi telah menjadi medium utama penyebaran budaya populer. Apa yang dulunya tersebar melalui media tradisional seperti radio, televisi, film, kini menyebar dengan kecepatan luar biasa melalui teknologi digital. Fenomena ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga bagaimana budaya populer telah menjadi kekuatan global yang memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia, dari cara kita berkomunikasi hingga gaya hidup kita. Tren-tren spesifik dari berbagai platform menunjukkan dampak besar dari invasi ini pada kehidupan sehari-hari.
Teknologi Digital Sebagai Katalis Budaya Populer
PLATFORM seperti YouTube, TikTok, dan Instagram adalah motor utama dan katalis utama dalam penyebaran budaya populer. Teknologi ini memungkinkan konten lokal menjadi fenomena global dalam hitungan jam. Salah satu contohnya adalah ledakan popularitas K-Pop, yang berkat YouTube dan media sosial, mampu menjangkau penggemar di seluruh dunia tanpa perlu bergantung pada media tradisional. Tidak hanya itu, algoritma pada platform ini memainkan peran penting dalam memperkenalkan konten kepada audiens. Misalnya, algoritma TikTok yang dirancang untuk menyarankan konten berbasis preferensi pengguna telah melahirkan tren global seperti tarian viral, tantangan, dan meme yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
CONTOH mencolok seperti YouTube dan K-Pop yaitu Grup seperti BTS dan BLACKPINK menggunakan YouTube sebagai platform utama untuk mempopulerkan musik mereka. Dengan strategi pemasaran digital yang cerdas, mereka tidak hanya menjangkau penggemar lokal tetapi juga menciptakan basis penggemar global, seperti "ARMY" untuk BTS. Juga pada media TikTok dan Tren Viral yaitu Lagu seperti "Old Town Road" oleh Lil Nas X menjadi fenomena global setelah viral di TikTok. Tarian dan tantangan (challenges) seperti #Renegade juga mengubah pengguna biasa menjadi selebritas instan. Pada Instagram dan Influencer Fashion, yaitu Influencer seperti Chiara Ferragni memanfaatkan Instagram untuk menciptakan tren mode yang diikuti jutaan orang di seluruh dunia.
Dominasi Raksasa Teknologi dalam Penyebaran Budaya
RAKSASA teknologi seperti Google, Apple, Meta (Facebook), dan Amazon berperan sebagai penjaga gerbang budaya populer. Google, misalnya, mengarsipkan tren melalui mesin pencarinya dan platform seperti YouTube, sementara Meta mendominasi interaksi sosial dengan Instagram dan Facebook. Apple tidak hanya menyediakan perangkat keras seperti iPhone tetapi juga membangun ekosistem aplikasi dan layanan yang mendukung penyebaran budaya populer. Amazon, dengan layanan streaming seperti Prime Video, juga telah menciptakan ruang untuk budaya populer melalui serial dan film yang sering kali mengangkat isu-isu global. Di sisi lain, Netflix sebagai pionir layanan streaming telah mempopulerkan budaya maraton menonton (binge-watching), mengubah cara masyarakat mengonsumsi hiburan.
PERUSAHAAN teknologi besar telah memainkan peran penting dalam membentuk budaya populer. Netflix dan Budaya Binge-Watching: Serial seperti Stranger Things dan Squid Game menjadi fenomena global berkat model distribusi Netflix yang memungkinkan pengguna menonton seluruh musim dalam sekali duduk. Squid Game bahkan membawa elemen budaya Korea seperti dalgona candy menjadi tren global. Amazon dan Prime Video juga menjadi bagian dengan produksi seperti The Marvelous Mrs. Maisel dan The Boys, Amazon telah menciptakan konten yang mencerminkan nilai budaya modern dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Pada Meta (Facebook dan Instagram), fenomena Meta mendukung penyebaran budaya melalui fitur seperti Reels dan Stories yang dirancang untuk konten pendek dan cepat viral.
Budaya Populer yang Menginvasi Kehidupan Sehari-Hari
INVASI budaya populer lewat teknologi digital tidak hanya memengaruhi hiburan, tetapi juga aspek kehidupan lain, seperti cara berpakaian, berbicara, dan bahkan berpikir. Meme telah menjadi bahasa universal yang melampaui batas geografis dan bahasa. Konten kreator di media sosial kini menjadi ikon budaya baru, menggantikan selebritas tradisional.
BUDAYA digital kini memengaruhi berbagai aspek kehidupan, dari cara kita berbicara hingga bagaimana kita berpakaian. Seperti pada bahasa dan meme, meme seperti Distracted Boyfriend atau Woman Yelling at a Cat tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga alat komunikasi lintas bahasa. Tren Mode dari Media Sosial seperti gaya busana seperti "VSCO Girl" atau "E-Girl" muncul dari tren di platform seperti TikTok dan Instagram, menunjukkan bagaimana media sosial memengaruhi identitas visual generasi muda. Selain itu berkembangnya virtual concerts, seperti konser digital seperti yang dilakukan Travis Scott di Fortnite menarik jutaan penonton, menciptakan pengalaman budaya baru yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya.
NAMUN, invasi ini juga membawa dampak negatif. Budaya cepat saji yang didorong oleh platform digital sering kali menghilangkan nilai kedalaman. Konsumsi konten yang berlebihan dapat menyebabkan FOMO (Fear of Missing Out), di mana individu merasa tertekan untuk terus mengikuti tren terbaru. Selain itu, algoritma yang didesain untuk meningkatkan keterlibatan sering kali mengorbankan privasi pengguna.
Masa Depan Budaya Populer di Era Digital
DENGAN kemunculan teknologi baru seperti kecerdasan buatan/ Artificial Intelligence (AI) dan metaverse, budaya populer diperkirakan akan semakin terintegrasi dalam kehidupan manusia. AI kini digunakan untuk menciptakan musik, seni, dan bahkan narasi film, sementara metaverse menawarkan ruang baru bagi pengalaman budaya yang lebih imersif.
TEKNOLOGI seperti kecerdasan buatan (AI) dan metaverse diperkirakan akan merevolusi budaya populer lebih jauh. AI dalam Musik dan Seni: AI seperti OpenAI’s Jukebox dapat menciptakan lagu dalam gaya artis terkenal, sementara AI juga digunakan untuk menghasilkan seni digital yang menarik perhatian dunia, seperti proyek The Next Rembrandt. Keberadaan metaverse, platform seperti Horizon Worlds (Meta) dan Decentraland memberikan ruang baru bagi pengguna untuk menciptakan dan berpartisipasi dalam pengalaman budaya virtual. Misalnya, Gucci membuat toko virtual di metaverse untuk mempromosikan koleksi eksklusif mereka.
INVASI budaya populer melalui teknologi digital tidak hanya mempercepat penyebarannya tetapi juga mengubah cara budaya itu diproduksi, dikonsumsi, dan diterima. Contoh-contoh seperti viralitas TikTok, dominasi Netflix, dan ledakan esports menunjukkan bagaimana teknologi telah membentuk ulang lanskap budaya global.
NAMUN, ada tantangan besar, termasuk risiko homogenisasi budaya, di mana identitas lokal tersingkir oleh dominasi budaya global. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan budaya lokal ke dalam lanskap digital agar keanekaragaman budaya tetap terjaga. Tantangan lain berupa ancaman terhadap privasi individu. Dengan memahami bagaimana budaya populer dan teknologi digital saling memengaruhi, kita dapat lebih bijaksana dalam menciptakan ekosistem digital yang inklusif dan beragam.
BUDAYA populer era digital adalah refleksi dari kreativitas manusia yang terus berkembang. Tantangan kita adalah memanfaatkan teknologi untuk melestarikan keanekaragaman budaya sambil terus menciptakan inovasi yang menghubungkan dunia. Digital Wars bukan hanya tentang persaingan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana budaya populer telah menjadi senjata utama dalam memenangkan hati dan perhatian miliaran pengguna di seluruh dunia. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat lebih bijak dalam menghadapi dampak teknologi digital terhadap budaya, sambil terus memanfaatkan potensinya untuk menciptakan dunia yang lebih terhubung dan beragam.Budaya populer di era digital bukan sekadar tren, melainkan cerminan perubahan sosial yang mendalam. Bagaimana kita menyikapinya akan menentukan arah budaya manusia di masa depan.
*) Penulis: Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Merdeka Madiun, dan Peneliti Media dan Budaya