Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

JEJAK LANGKAH PRAMOEDYA ANANTA TOER SANG FEMINIS : MENGENANG PERJALANAN MENYELAMI KARYANYA


Oleh : Agnes Adhani*)


#SeabadPram merupakan festival sastra yang monumental di tanah kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Blora pada 6-8 Februari 2025. Berhubung tidak bisa hadir di Blora, tulisan ini ikut memeriahkannya, sekaligus mengenal jejak langkah menyelami Pramoedya Ananta Toer.


Saat SD kelas V, tahun 1974, mengulik koleksi karya bapak, dengan takut-takut karena ada larangan membuka almari bapak dengan “jangan membaca buku-buku ini”. Tetapi beberapa kali mencuri ambil dan baca, dan bapak tahu beliau diam saja. Saat dewasa saya bertanya, soal izin terselubung itu, ternyata itu cara bapak untuk memantik curiously, berliterasi sejak dini. Membaca Layar Terkembang Soetan Takdir Alisjahbana menangisi Maria yang harus mati dengan TBC dan agak benci dengan Tuti. Membaca Belenggu merasa terbelenggu untuk bisa menangkap yang tersurat saja begitu sulit apalagi menggali yang tersirat. Itulah langkah awal membaca dan mengenal sastra.


Saat berkuliah di Sastra Indonesia UNS, ketajaman mengetahui dan memahami gagasan Pramoedya agak terasah, walaupun cap komunis lekat pada sastrawan ini. Ada kegamangan menyelaminya. Walaupun akhirnya mampu menangkap gagasan yang heroik, saksi sejarah tentang kekejaman dan ketidakdilan, serta mengangkat Buru, sebagai pulau tahan politik PKI, menjadi mendunia.


Jejak berikutnya tertoreh pada tahun 2007, ada kesan mendalam saat ingin membeli tetralogi Buru dengan harga lebih dari 200 ribu saat itu terasa sungguh mahal. "Tetralogi Buru" terdiri atas empat judul novel yang diterbitkan beriringan, yakni Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Untung Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Madiun saat ini menjadi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya memfasilitasinya. Gadis Pantai dan Arok Dedes mampu terbeli sendiri, termasuk karya nonfiksi Panggil Aku Kartini Saja.


Langkah menyelami ternyata cukup lama, lewat tokoh Gadis Pantai, Nyai Ontosoroh, dan Kartini. Untuk slulup ‘menyelam’ harus basah kuyup. Gadis Pantai, Nyai Ontosoroh, dan Kartini mampu mewakili gagasan Pramoedya layak dinobatkan sebagai feminis. Perempuan tidak cukup manut, nurut, pasrah, narima ing pandum, tuhu-bekti kepada ayah atau suami, namun harus berjuang, berjuang, dan berjuang. Bukan hasil akhir menang yang dibetuhkan, melainkan kiat berjuang yang tentunya kontektual. Belenggu kemiskinan, kolonial, patriarkhal dengan olah akal yang cerdas, tangkas, dan waras.


Kesan film R.A. Kartini, 1982, disutradarai Sjuman Djaya dan diperankan oleh Yenny Rachman, yang masih melekat dalam ingatan adalah Kartini purik nggeret jarik keluar dari kamar ketika melihat suaminya bercengkerama dengan selirnya.  Gagasan cerdas Kartini tak tampak, hanya foto seorang perempuan dewasa berwajah aristokrat. Berbeda saat membaca Panggil Aku Kartini Saja. 


Pada buku Pram, Kartini digambarkan sebagai gadis 12 tahun yang ceria dan ceriwis sehingga dijuluki Prenjak (nama burung) dengan gagasan yang cerdas, cemerlang, dan egaliter, serta melampaui zamannya. Walaupun dibelenggu pingitan, gagasannya melampaui batas-batas fisik. Peran ayah dan kakak lelakinya mendukung “kebebasannya” melanglang buasa sekaligus kepeduliannya terhadap ketidakadilan yang membelenggu kaumnya. Santun dan rendah hati digambarkan dengan kerelaannya mengalihkan beasiswa pendidikan untuknya ke Negeri Belanda kepada Agus Salim. Merasa belum saatnya perempuan harus menempuh pendidikan sampai ke Eropa, sedangkan sebagai besar kaumnya masih terjajah oleh kebodohan. Emansipasi bagi Kartini adalah kebebasan kaumnya untuk menempuh pendidikan, sehingga bisa merdeka menentukan nasibnya sendiri, seperti mau menjadi ibu rumah tangga, perempuan karier, atau keduanya.


Pramoedya Ananta Toer yang hari berulang tahun ke-100, layak dikenang, dihormati, dan dihapus stigmatanya sebagai PKI. Mari setiap dari kita berjuang menjadi penerus gagasannya dan menorehkan sejarah. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." - Pramoedya Ananta Toer

*) Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia PSDKU Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

IKLAN

Recent-Post