Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

Bermartabat Tanpa Lupa Kodrat: Refleksi Hari Perempuan Internasional

Oleh :  Agnes Adhani*)


Setiap tahun perempuan sedunia memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Peristiwa ini untuk mengenang perjuangan perempuan dalam menuntut kesamaan hak, terkait hak pilih, pengurangan jam kerja, dan upah yang setara dengan laki-laki.  Pekerja perempuan pada tahun 1908 sejumlah 15.000 orang berdemonstrasi di New York City Amerika dan gerakan ini diikuti juga di Eropa. Pada 1910 pada Kongres Sosialis Internasional di Kopenhagen ditetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional dan sejak 1911 mulai diperingati dan semakin meluas sampai sekarang.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan sudah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Pada saat kehidupan masih sederhana, dengan pembagian peran masih setara, lelaki berperan publik untuk mencari nafkah dan perempuan di ranah domestik mengelola rumah tangga, Nasib perempuan mungkin aman dan nyaman. Namun label negatif perempuan, seperti berperan macak, masak, manak ‘berhias, memasak, melahirkan, berperan sekitar dapur, sumur, kasur, kanca wingking ‘teman di belakang’, suwarga nunut neraka katut ‘ke surga menumpang, ke negara ikut’ masih melekat erat. Namun dalam  perkembangan zaman, perempuan dituntut berperan di ranah publik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang tidak cukup dipenuhi oleh kaum laki-laki, maka konflik kepentingan ini mulai mencuat.

Pencari nafkah, peran ekonomi, mulai dirambah perempuan. Kekuatan ekonomi dan politik memandang rendah perempuan dengan label lemah dan manut, tidak punya posisi tawar, karena desakan kebutuhan penghidupan, mereka tidak mendapatkan hak-haknya. Hak pilih untuk menentukan kebijakan, eksploitasi waktu kerja tanpa memperhatikan keterbatasan fisik perempuan, dan pemberian upah yang lebih rendah dibanding laki-laki harus diperjuangkan. Hanya perempuan sendiri yang harus memperjuangkan hak-haknya dengan bermartabat. Itulah awal perjuangan perempuan secara bermartabat dan mulai dipertimbangkan oleh berbagai pemangku kepentingan: pemerintah, pengusaha, dan kekuatan ekonomi dan politik lainnya.

Apakah perempuan Indonesia perlu menapresiasi perjuangan para perempuan pada 117 tahun lalu? Jawabannya ya. Tanpa perjuangan para buruh, yang dianggap sebagai kasta rendah, di Amerika saat itu, perempuan masih terpuruh dan tertindas. Apakah mereka mengharapkan kesamaan dalam segala hal? Tidak. Perempuan tidak pernah lupa akan kodratnya. Kesamaan hak untuk dapat dipilih dalam serikat pekerja dapat menentukan nasibnya dengan bargaining power yang adil. Pengurangan jam kerja terkait dengan pelaksanaan kodratnya sebagai perempuan, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui yang tidak bisa digantikan oleh kaum laki-laki. Kesetaraan dalam upah juga diperjuangkan, karena label perempuan sebagai pembantu laki-laki dalam mencari nafkah, mengakibatkan mereka mendapatkan upah yang jauh lebih rendah dengan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang sama bahkan lebih baik.

Apakah perjuangan atas hak pilih, pengurangan jam kerja, dan kesetaraan upah sudah berhasil? Setelah lebih dari seratus tahun, hal ini belum bisa dianggap berhasil, apalagi di Indonesia. Untuk peran politik perempuan di Indonesia dengan afirmasi 30% keterwakilan perempuan di DPR sampai saat ini belum berhasil. Selain label politik itu keras dan kotor yang kurang diminati perempuan, juga masih ada keengganan kaum laki-laki menerima pertemuan secara adil dan setara. Pengurangan jam kerja dengan cuti hamil-melahirkan dan cuti menstruasi dianggap sebagai kemanjaan perempuan. Apalagi terkait dengan upah. Sistem pengupahan belum setara antara perempuan dan laki-laki belumlah terwujud.

Sungguh perjuangan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan di ramah publik belumnya usai. Para perempuan harus bersatu-padu memperjuangkan hak-haknya untuk  mendapatkan keadilan dan kesetaraan melalui berbagai jaluh perjuangan. Perempuan tidak boleh nglokro dan pasrah, dengan ungkapan ngene wae wis cukup dan yang penting pokoke mlaku dan tanpa gejolak. Salam merdeka dan semangat berjuang para perempuan.

*) Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun, pemerhati masalah perempuan dan pendidikan

IKLAN

Recent-Post