Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

KEPLEK ILAT ‘MEMANJAKAN LIDAH’



Oleh : Agnes Adhani

Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya


HARI ini (20 September 2024)  Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) memperingati dies natalis ke-64, berbarengan tentunya dengan dies natalis Program Studi Bimbingan Konseling dan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dua program studi ini merupakan cikal bakal berdirinya UKWMS.

PROGRAM Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, mengisi dan merayakan dies natalis salah satunya dengan mengadakan acara “Bedah Novel Madah: Manjakan Lidah” yang ditulis oleh Agnes Adhani. Berdasarkan diskusi dengan durasi 75 menit di Wima TV secara live streaming, ada yang mengusik penulis tentang keplek ilat, ngawula wadhuk ‘memanjakan lidah, menghamba kepada perut’.  Tulisan ini tidak akan mengulas isi novel yang bergenre gastro-feminisme. Karya sastra sebagai alat perjuangan perempuan dengan menggunakan makanan sebagai komponen utama, tidak sebatas sebagai ornamen penghias. Yang jadi permenungan dalam tulisan ini adalah bagaimana pola hidup keplek ilat, ngawula wadhuk.

ORANG-orang yang lahir sekitar tahun 50-an sampai dengan 60-an pasti pernah merasakan kurang makan. Ada zaman sekitar tahun 64-an dikenal dengan zaman gaplek, langka bahan makanan. Makan satu telur didadar, ditambah tepung atau kelapa parut, dinikmati satu keluarga, tentunya keluarga besar. Jumlah anak angkatan 50-an atau 60-an ini sebagian besar memiliki lima anak ke atas. Berebut makanan, sarapan sega wadhang ‘nasi kemarin, nasi basi’ dengan sambel bawang atau sambel jelantah, sambal bawang yang diguyur jelantah panas, atau nasi dengan kecap dan bawang merah tentu pernah dinikmati oleh mereka. Tiga-empat puluh tahun kemudian generasi ini menjadi generasi perut gendut, karena nguja mangan ‘memanjakan makan’.  Wisata kuliner dengan menikmati makanan enak, yang biasanya mengandung lemak, gula, kolesterol tinggi, tidak dibarengi olahraga yang seimbang. Dampak yang paling nyata mereka menjadi rumah sakit berjalan dengan berbagai penyakit bersarang dalam tubuhnya: diabetes melitus, tekanan darah tinggi, jantung koroner, gagal ginjal. Tubuhnya menjadi pabrik gula, pembuluh darah jantung pakai cincin alias ring, laundry darah secara rutin, langkah terseok karena asam urat, stroke, dan berbagai kanker bersarang dalam tubuhnya. Penyakit degeneratif yang biasanya menyerang saraf, tulang belakang, sendi, dan otak menyerang lebih cepat dan lebih muda. Sungguh menjadi generasi yang memprihatinkan.

SUDAH selayaknya kita merefleksikan pola hidup sehat dengan kesadaran penuh bahwa sebagian besar sakit dan penyakit berawal dari mulut yang ngemplok ‘memakan’ tanpa rem. Rem mulut agar tidak mudah tergiur dan ngiler ‘mengeluarkan liur’ dan lapar mata harus semakin kuat. Pajanan iklan kuliner yang terlihat cantik, indah di mata, dengan ulasan dan  rating tinggi membuat mereka yang sudah mulai merasa berkantung tebal tidak eman ‘sayang’ keluar uang. Apalagi demi gengsi mencoba menu daging wagyu, Chicken Cordon Bleu, aneka olahan kaviar, sup sirip hiu/hisit dengan harga fantastis, aneka olahan daging yang kadang setengah matang dengan berbagai nama steak sungguh mengiurkan walaupun membuat saku bolong, dompet kempis. Sebagian dari mereka membuat ungkapan “dulu tidak bisa, mumpung mampu, perlu menikmati hidup, toh tidak setiap hari”. Setelah terserang berbagai sakit dan penyakit, ungkapan mereka menjadi dulu pengin makan tidak ada yang bisa dimakan, sekarang ada yang bisa dimakan tetapi tidak bisa makan, karena berbagai penyakit yang harus ditekan dengan berbagai bentuk diet. Sungguh ironis.

HIDUP dengan  lapar mata, turun ke mutut lanjut ke perut perlu perlu dirunut, agar tidak semakin berlarut sehingga semakin ngebut menjemput maut. Semangat hidup sehat dengan menyeimbangkan gerak badan dengan gerak lidah. Dengan tidak lupa memohon berkat Tuhan berupa rahmat sehat. (*)

IKLAN

Recent-Post