Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

Castle Literasi SMAN 1 Puri Mojokerto Memaknai Hari Kartini

Goresan pena berikut merupakan buah karya dari  anggota ekstrakurikuler Castle Literasi SMAN 1 Puri Mojokerto—sebuah komunitas literasi yang menjadi ruang bertumbuh, berekspresi, dan berbagi gagasan bagi pelajar yang mencintai dunia kata. Sejak awal berdirinya, Castle Literasi hadir sebagai bagian dari gerakan literasi sekolah yang bertujuan menumbuhkan budaya membaca, menulis, dan berpikir kritis di kalangan siswa.


Tulisan ini secara khusus lahir dari perenungan mendalam dan daya imajinasi pembelajar di Castle Literasi tentang sosok Raden Ajeng Kartini—tokoh emansipasi perempuan yang hingga kini menjadi inspirasi lintas generasi. Kartini tidak hanya dikenal karena perjuangannya membuka ruang pendidikan bagi kaum perempuan, tetapi juga karena pemikirannya yang melampaui zamannya, ditulis dengan ketulusan dan ketajaman dalam surat-suratnya. (Dra. Agnes Adhani, M.Hum)




Lancang dan Lantang

Oleh Trefenik Puspita


CUACA cerah pagi ini membuat orang-orang terlihat bersemangat untuk menjalani kegiatan sekolah. Tak jauh dari arena hinggap para burung yang bernyanyi, sedang duduk tenang perempuan bernama Bestari. Kini, perempuan berkacamata itu duduk di kursi kelas sembari membuka lembaran selanjutnya di buku yang sama sekali belum pernah ia baca. Ia kecanduan baca buku. Bestari sering dipanggil anti keliru oleh teman-temannya. Berkat kegemarannya yang membaca hampir seluruh genre buku, membuatnya mendapat segala hal yang belum ia tahu. Dari hal itu, teman-temannya sering bertanya dari hal-hal kecil hingga sesuatu yang perlu didiskusikan bersama. Mungkin, itu memang kehebatan yang ditakdirkan untuk Bestari. Melihat teman-temannya yang menyimak di saat ia menjelaskan sesuatu adalah suatu kepuasan bagi Bestari. Memangnya, siapa yang tidak ingin dekat dengan seseorang yang pintar dan cerdik seperti Bestari? Karakteristiknya yang ramah dan murah ilmu itu selalu menarik perhatian orang-orang.


BESTARI asyik membaca hingga kelas terasa hening dan seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia terkejut dengan menutup bukunya, lalu membetulkan posisi kacamatanya. Seorang guru perempuan yang ada di meja depan tersenyum ketika mendapati Bestari yang baru saja menutup bukunya. Ia menatap Bestari dengan rasa bersyukur karena masih ada remaja yang senang membaca buku. Kelas pagi akan segera dimulai. Bestari menyimpan bukunya di dalam tas dan menyiapkan buku pelajaran. Mata pelajaran kewarganegaraan menjadi media simak oleh para murid di kelas. Guru itu tidak henti menjelaskan di depan para murid seperti menguasai panggung sandiwara. Hingga satu-persatu pendapat dilemparkan untuk berebut nilai. Maklum saja karena teman-teman kelas Bestari adalah siswa-siswi yang rajin. Tak heran jika Bestari juga seimbang dengan keadaan. Hingga kelas terasa sedikit ricuh karena satu pernyataan menuai perdebatan para murid. Tiba saatnya Galang yang bersuara membuat murid di kelas itu diam untuk menyimak. Laki-laki yang menjabat ketua kelas itu berpendapat mengenai pernyataan kebebasan terhadap perempuan. Ia menjelaskan bahwa perempuan tidak perlu terlalu keras untuk mencapai kepuasan hidup. “Karena pada akhirnya, perempuan itu bertanggung jawab untuk keluarga sampai akhir hayat terutama untuk anak-anaknya. Itu adalah kenyataan yang terjadi sampai saat ini, persis seperti ibu saya. Jadi, tidak perlu bersikap lancang.”


BESTARI bertanya-tanya, seperti ada yang janggal dari ucapan Galang. Lantas, ia mengatakan bahwa dirinya tidak setuju atas pendapat ketua kelasnya tersebut. Perempuan itu menegaskan kembali pernyataan yang diberikan oleh guru, yaitu Kebebasan perempuan adalah hak yang wajib diberikan. Kalimat tersebut tidak diperindah, apalagi hiperbola. Tentu sudah jelas. Bestari menyangkal seluruh ucapan Galang. Ia menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi patokan untuk selalu menjadi bagian mengurus rumah tangga, terlebih lagi jika dicap sebagai pabrik bayi. Hal yang sangat kasar dan tidak berempati. Ia mengerti jika perempuan memang lihai dalam mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Itu bukan keahlian, melainkan kebiasaan. Perempuan terbiasa seperti itu dalam semua hal, tidak hanya masalah rumah tangga. Lalu, Bestari berdiri di tempatnya dengan gagah. Ia menarik nafas, mempersiapkan suara lantangnya. “Galang, kamu harus tahu kalau perempuan memiliki kebebasan yang setara dengan laki-laki. Sekali lagi, setara dengan laki-laki! Kalau perempuan harus bertanggung jawab, artinya laki-laki juga. Apa kamu tidak tahu di zaman Kartini perempuan hidup di tengah masyarakat patriarki? Itulah yang membuat seorang Kartini mengubah keselarasan hidup perempuan hingga saat ini. Perempuan zaman sekarang berhak mendapat pendidikan formal setinggi-tingginya. Perempuan tidak harus untuk selalu bersifat penurut apalagi wajib pandai memasak. Mereka lebih berhak untuk mendapat hidup sesuai keinginan, yang artinya bebas. Sampai hari ini, beruntungnya masih ada perempuan yang bijak, cerdik, dan kritis. Itu artinya perjalanan Kartini masih hidup. Jadi, kalau perempuan zaman sekarang lebih mandiri dan pintar, apakah kamu tidak suka, Galang? Bagaimana jika kamu sebut kami sebagai kaum hipermaskulin? Menarik, bukan?”



Kartini Sukar Dibungkam

Oleh Amey Nisa


Bersanggul Jawa, pembela sesamanya,

yang gigih membela hak kaum wanita.

Ia ingin dihargai setara mereka (lelaki),

dengan suara lantang nan penuh daya.

 

Pikirannya luas, bijak menembus batas,

Tak dapat dikekang, tak bisa dibungkam.

Meski banyak yang mencibir, merasa cemas,

Ia terus melangkah, tak pernah diam.

 

Surat-suratnya laksana jendela terbuka,

Menawarkan cakrawala penuh makna.

Menyuarakan harapan yang ia punya,

Cita-cita mulia mulai tumbuh di sana.

 

Demi sesamanya,

Semangatnya menyala, tak kenal reda.

Membela hak, dengan jalur tak mudah,

Ia tetap berdiri kuat, tak menyerah.

 

Perempuan bersanggul Jawa,

pelita terang,

takkan hilang.

Namamu abadi.

IKLAN

Recent-Post