KARTINI UNTUK INDONESIA, TIDAK HANYA UNTUK PEREMPUAN INDONESIA
![]() |
Oleh : Agnes Adhani*) |
ADA hal yang istimewa pada 21 April 2025 di Madiun dalam rangka memperingati Hari Kartini, yaitu busana lurik menjadi unik dan menarik. Namun ada yang menggelitik, celetukan kaum lelaki dengan ungkapan, “Kok tidak ada peringatan Hari Kartono ya?”. Apakah Kartini hanya berjasa bagi kaum perempuan, karena perjuangannya lewat emansipasi? Tentu tidak. Mari kita runut sejarah.
SEKITAR 125 tahun lalu, seorang gadis kecil, 12 tahun, baru selesai SD, putri seorang Bupati Jepara, harus menghadapi pingitan, kungkungan fisik di balik tembok kadipaten. Keadaan terbelenggu secara fisik ini membuka peluang untuk merefleksikan hidupnya dan kaumnya yang jauh dari ideal. Ketidakadilan kaumnya sungguh dirasakan, yang hanya berperan sekitar dapur, sumur, dan kasur, serta dituntut untuk selalu pasrah, nurut, manut, nrima, dan tuhu bekti kepada ayahnya sebelum menikah dan kepada suaminya bila sudah menikah tanpa reserve. Sungguh ia tidak bisa hanya diam, mengalah, dan kalah. Peristiwa pingitan itu justru memberinya keleluasaan untuk mengepakkan pikirannya lewat membaca dan menulis. Bahan bacaan berbahasa Belanda dan koneksi kakaknya dengan berbagai kalangan di Negeri Belanda, membuat gadis ini mampu melenting melampaui zamannya.
“PEMBERONTAKANNYA” secara evolusioner, bukan revolusioner sungguh bisa dinikmati oleh perempuan sekarang. Perempuan bisa bebas menempuh pendidikan, sehingga menjadi cerdas, berilmu, dan bermartabat. Ibu yang demikian dibutuhkan oleh bangsa ini. Menjadi ibu sebagai pendidik pertama dan utama harus cerdas, berilmu, dan bermartabat, sehingga menghasilkan anak-anak, baik lelaki maupun perempuan, yang cerdas, tidak sebagai kaum penindas yang melindas makhluk yang “dianggap” lemas dan lemah.
PERJUANGAN Kartini yang egaliter, tampak dari syarat yang diajukannya saat menerima pinangan Bupati Rembang. Tiga syarat tersebut adalah mohon tidak harus laku dhodhok ‘berjalan dengan berjongkok’, membasuh kaki, berbahasa dengan krama inggil kepada sang suami. Permintaan yang sungguh sangat berani pada zaman itu. Peran perempuan saat itu lebih sebagai pelengkap penderita, awan dadi theklek, bengi dadi lemek ‘siang menjadi alas kaki, malam menjadi alas tidur.’
PADA zaman dahulu, masyarakat kita yang agraris, terjadi pembagian peran yang adil dan setara, lelaki sepanjang hari mengelola sawah, perempuan mengelola rumah. Namun dalam perkembangan zaman, masyarakat industrial memberi peluang perempuan berperan di sektor publik, namun peran domestik seutuhnya masih ditumpukan kepada perempuan. Itulah titik pangkal ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, perempuan bekerja lebih lama dan panjang. Bila ada peran ganda perempuan tentu perlu ada gerakan peran ganda laki-laki. Hal ini diperkuat selama orde baru lewat program peningkatan peranan wanita, memberi peluang perempuan berperan di sektor publik sebagai kader berbagai kegiatan keperempuanan yang gratis, cukup bangga dengan julukan “istri pendamping suami yang setia” dan gerakan bapakisme. Perempuan menjadi stateless setelah menikah, nama dirinya hilang bermetamorfose menjadi nyonya X.
HASIL perjuangan Kartini menghasilkan keluarga modern yang adil gender, pembagian peran domestik terjadi. Lelaki yang masuk dapur tidak dianggap cupar atau kethuk dan pekerjaan rumah tangga tidak dianggap remeh dan merendahkan harkat laki-laki. Kisah Jaka Tarub yang membuka dandang penanak nasi merupakan suatu mitos bahwa peran sumur, dapur, dan kasur saat ini sudah luntur. Jadi Kartini yang pada awal mula memperjuangkan emansipasi perempuan sungguh berdampak kepada perempuan menjadi cerdas, berilmu, dan bermartabat dan sebagai ibu, menghasilkan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan generasi berikutnya, yang cerdas, berilmu, dan bermartabat. Perempuan menjadi merdeka untuk memilih menjadi ibu rumah tangga, berkarier, atau keduanya, tanpa salah satu lebih rendah asal dilaksanakan dengan tetap menjaga harmoni kehidupan. Sadar diri dan sadar posisi dalam kehidupan.
MIMPI dan cita-cita Kartini telah mewujud nyata dengan perjuangan, lelehan keringat, dan tetesan air mata. Kita layak bersyukur dan bangga menjadi perempuan Indonesia yang merdeka yang memberikan sumbangsih bagi Indonesia merdeka. Selamat Hari Kartini 2025.
*) Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun, aktivis perempuan.